IKLAN & KEKERASAN SIMBOLIK


Pembicara: Ibu. Endah
Ibu. Endang sehari-hari mengajar di Universitas Multimedia Nusantasa (UMN)

Pada dasarnya, iklan sendiri berusaha untuk menyampaikan dan menanamkan sesuatu. Contohnya adalah iklan L-men, dimana setiap iklan dari L-men ingin menyampaikan atau menanamkan bahwa tubuh ideal seorang pria adalah sixpack, bukan yang kurus atau kerempeng. Atau contoh lainnya adalah iklan dari Ponds, dimana iklannya sejak dulu ingin menanmakan bahwa perempuan cantik itu memiliki kulit yang putih, walaupun terkadang kulit putih yang dimaksudkan berbeda-beda seiring berjalannya waktu, seperti pada awalnya iklan Ponds menekankan kepada kulit putih segar, lalu setelah itu kulit putih seperti mutiara, dan lain sebagainya.
Mengapa iklan dapat dianggap sebagai bentuk kekerasan simbolik? Tanpa sadar iklan terus menanamkan suatu nilai, dan kemudian kita merasa hal tersebut perlu kita lakukan. Sebelumnya kita perlu menyadari bahwa iklan sendiri ada dimana-mana, seakan mengikuti kemana saja kita pergi sepanjang hari, baik di rumah, jalanan, pasar, kantor, kampus, sekolah, stasiun, halte bus, bandara, taksi, lift maupun toilet. Iklan telah mengepung kita dari berbagai penjuru dan sepanjang waktu, sehingga memungkinkan untuk mampus menembus hampir semua celah kehidupan setiap orang. Pengiklan seolah tidak akan melewatkan sejengkal tempat dan waktu untuk beriklan.
Iklan sendiri sudah mengalami pergeseran fungsi, yang awalnya hanya sekedar untuk menawarkan dan mempengaruhi calon kosnumen untuk membeli suatu produk, setelah itu iklan juga ingin membentuk sistem nilai, gaya hidup, maupun selera budaya tertentu. Iklan tidak hanya memvisualisasikan kualitas dan atribut dari produk yang harus dijualnya, tetapi mencoba membuat bagaimana sifat atau ciri produk tersebut mempunyai “arti” sesuatu bagi kita.  Dalam konteks inilah iklan mendefinisikan image tentang ‘arti tertentu yang diperoleh’ ketika orang menggunakan produk produk tersebut. Proses ini oleh Williamson (1978: 20) disebut sebagai using product is currency, yaitu menggunakan produk yang diiklankan sebagai ‘uang’ untuk membeli produk kedua yang secara langsung tidak terbeli.
Masyarakat saat ini adalah masyarakat yang dipenuhi oleh simbol-simbol, hal ini dapat dengan mudah dijelaskan dengan salah satu penjabaran seperti ketika kita ingin membeli barang dengan merek tertentu, contohnya harus membeli pulpen dengan merek Pilot, dan ketika sudah menjadi eksekutif muda harus membeli pulpen dengan merek Parker. Tentunya semua hal ini membuat kita dapat melihat, bahwa sebenarnya kehidupan ini dipenuhi dengan simbol-simbol tertentu. Menurut Baudrillard, iklan adalah bagian dari sebuah fenomena sosial bernama consumer society. Obyek dalam iklan tidaklah berdiri sendiri, melainkan dibentuk oleh sebuah sistem tanda (sign system). Analisis Baudrillard berkontribusi dalam mengembangkan analisa mengenai produksi dan reproduksi pesan yang melibatkan peran dari citra (image) pada masyarakat kontemporer.
Barthes menganalisa iklan sebagaimana layaknya seorang linguistik. Barthes tertarik untuk membongkar makna dari pesan-pesan yang disampaikan lewat image maupun teks dalam media dan fenomena sosial lainnya. Makna ini dibongkar dengan terlebih dahulu menganalisa tanda-tanda yang merepresentasikan makna, dengan menggunakan semiotik sebagai kerangka analisa. Barthes menyumbangkan pemikiran mengenai peran media dalam reproduksi pesan-pesan ideologis.

Bagi Bourdieu, seluruh tindakan pedagogis baik itu yang diselenggarakan di rumah, sekolah, media atau dimana pun memiliki muatan kekerasan simbolik selama pelaku memiliki kuasa dalam menentukan sistem nilai atas pelaku lainnya, sebuah kekuasaan yang berakar pada relasi kuasa antara kelas-kelas atau kelompok-kelompok sosial dalam masyarakat.

Komentar

Postingan Populer